JOSINDONESIA

JOSINDONESIA

DEFINISI TYPHUS ABDOMINALIS

Typhus Abdominalis



1. Pengertian
Typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan, mulut, atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella typhi (Hidayat, 2011: 120).
Tiphus abdominalis atau thypus adalah penyakit peradangan usus halus dan aliran darah. Penyakit peradangan usus ini disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella terica, khususnya keturunan salmonella typhi A, B, dan C (Nugrahajati, 2012: 1). 
Demam tifoid atau typhoid fever ialah penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi A, B, dan  C. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia maupun daerah-daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia (Soedarto, dkk., 2009: 127).

2. Etiologi
T.H. Rampengan (2007: 47), menyatakan penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa/Eberthella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 700  C ataupun oleh antiseptik. Sampai saat ini, diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen yaitu: Antigen O = Ohne Houch = antigen somatik (tidak menyebar), antigen H = Houch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil, dan antigen V1 = Kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi antigen O tehadap fagositosis.
Menurut Nugrahajati (2012: 2), Bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Dari mulut terus masuk ke lambung dan usus halus. Di dalam usus halus, bakteri berkembang biak, lalu menembus dinding usus menuju saluran limfa. Dalam waktu 24-72 jam, dia akan masuk ke dalam pembuluh darah. Metode penularannya beragam seperti kontak dengan seseorang yang menderita penyakit thypus, kurangnya kebersihan pada makanan, pemakaian peralatan makan yang tidak higienis.
Berdasarkan Widoyono (2008: 35), Penularan penyakit demam tifoid adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan KLB (Kejadian luar biasa). Vektor berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit. 

3. Manifestasi klinik
Suriadi, dkk., (2010: 255), menyebutkan manifestasi klinis yang biasanya muncul antara lain nyeri kepala, lemah, lesu, demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu, minggu pertama peningkatan suhu tubuh berfluktuasi. Biasanya suhu tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pagi hari. Pada minggu kedua suhu tubuh terus meningkat, dan pada minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun dan kembali normal. Juga terjadi gangguan pada saluran cerna antara lain: halitosis, bibir kering dan pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor, meteriosmus, mual, tidak napsu makan, hepatomegali, splenomegali yang disertai nyeri pada perabaan. Terdapat gangguan kesadaran: penurunan kesadaran (apatis, somnolen). Ditemukan juga bintik-bintik kemerahan pada kulit (roscola) akibat emboli basil dalam kapiler kulit, epitaksis (Suriadi, dkk., 2010: 255). Hal ini didukung oleh penelitian dari Homenta (2013: 274), yaitu gejala klinis terbanyak adalah anoreksia diikuti oleh mual, muntah, dan nyeri perut.
Nugroho (2011: 188), menyatakan demam tifoid dapat menyebabkan berbagai manifestasi klinis antara lain: perut kembung, pada usus terdapat nekrosis-ulserasi, pernafasan cepat dangkal, distensi abdomen, brakikardi relatif, pusing dan lidah kotor.

4. Patofisiologi
Kuman salmonella masuk ke dalam makanan atau minuman. Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe dan masuk ke darah (bakteri primer) menuju ke organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembangbiak. Pada akhir masa inkubasi berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung  empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang  susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gjala dari demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhosa dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah memengaruhi pusat termuregulator di hipotalamus (T.H. Rampengan, 2007: 47).
Menurut Sodikin (2011: 240), mekanisme masuknya kuman diawali dengan infeksi yang terjadi pada saluran pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu masuk ke dalam peredaran darah sampai organ-organ lain, terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai dengan rasa nyeri pada perabaan.
Berdasarkan Nurarif dan Kusuma (2015: 181), bakteri salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal yang lolos dari asam lambung sehingga bakteri masuk ke usus halus terjadi gejala malaise, perasaan tidak enak, nyeri pada abdomen. Kemudian bakteri masuk ke usus halus juga menyebabkan inflamasi kemudian bakteri menuju ke pembuluh life lalu menuju ke peredaran darah (bakterimia primer) kemudian bakteri masuk ke retikulo endotelial (RES) terutama pada hati dan limpa. Terjadi peradangan di hati dan limpa maka mengakibatkan hepatomegali. Kemudian pada limpa terjadi pembesaran sehingga mengakibatkan splenomegali kemudian terjadi penurunan mobilitas usus dan penurunan peristaltik usus sehingga terjadi konstipasi atau diare. Pada penurunan peristaltik usus juga menyebabkan peningkatan asam lambung terjadi anoreksia mual muntah sehingga mengakibatkan resiko kekurangan volumen cairan dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

5. Komplikasi
Komplikasi dari demam tifoid dapat digolongkan dalam intra dan ekstraintestinal. Menurut Widagdo, (2011: 199), menyebutkan komplikasi intraintestinal, di antaranya ialah a) perdarahan, dapat terjadi pada 1-10% kasus, terjadi setelah minggu ke-1, dengan ditandai antara lain oleh suhu yang turun disertai dengan naiknya denyut nadi, b) perforasi usus, terjadi pada 0,5-3% kasus, setelah minggu pertama, didahului oleh perdarahan berukuran sampai beberapa cm, di bagian distal ileum, ditandai oleh nyeri abdomen yang kuat, muntah dan gejala peritonitis. Komplikasi ekstraintestinal  adalah termasuk a) sepsis, dengan ditemukan adanya kuman usus yang bersifat aerobik dan anaerobik, b) hepatitis dan kholesistitis ditandai dengan gangguan uji fungsi hati, pada pemeriksaan amilase serum menunjukkan peningkatan sebagai petunjuk adanya komplikasi pnkreatitis, c) pneumonia ataau bronkitis sering ditemukan, yaitu kira-kira sebanyak 10%, umumnya disebabkan karena adanya superinfeksi selain oleh salmonella, d) miokarditis toksik ditandai oleh adanya aritmia, blok sinoatrial, dan perubahan segmen ST dan gelombang T, pada miokard dijumpai infiltrasi lemak dan nekrosis, e) trombosis dan flebitis jarang terjadi, komplikasi neurologi jarang menimbulkan gejala residual, yaitu termasuk tekanan intrakranial meningkat, trombosis serebrum, ataksia serebrum akut, tunawicara, tuna rungu, mielitis transversal, dan psikosis.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Dalam penegakan diagnostik demam tifoid, selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik sangat penting dilakukan. Menurut Suriadi, dkk., (2010: 256), pemeriksaan diagnostik demam tifoid adalah pemeriksaan sumsum tulang: menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang. Dan pemeriksaan darah perifer lengkap : dapat ditemukan leukopeni, leukositosis atau kadar normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
Nurarif dan Kusuma (2015: 179), menyatakan pemeriksaan diagnostik pada demam tifoid antara lain: pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyrupate Transaminase): SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus. Uji widal: uji serologi untuk mendeteksi anbodi atau kekebalan tubuh terhadap bakteri salmonella typhi dengan cara mengukur kadar agglutinin terhadap antigen O dan H dalam sampel darah. Biakan empedu atau kultur yaitu kultur darah: bisa positif pada minggu pertama, kultur urine: bisa positf pada akhir minggu kedua, kultur feses: bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga. Dan pemeriksaan anti Salmonella typhi IgM : pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut salmonella typhi, karena antibodi IgM muncul pada hari ke 3 dan 4 terjadinya demam. 

7. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi, dkk., (2010: 256), terdapat bebrapa penatalaksanaan keperawatan demam tifoid diantaranya: istirahat selama demam hingga dua minggu (aktivitas di tempat dan menjaga kebersihan). Diet tinggi kalori, tinggi protein, seperti bubur, boleh diberikan makanan lain asalkan lunak tidak mengandung banyak serat, dianjurkan yang mengandung banyak vitamin dan mineral. Diet ini bertujuan untuk memnuhi kebutuhan nutrisi. Dianjurkan untuk banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi  Hal ini didukung oleh penelitian Nurjannah HR, dkk., (2012: 5-6), yaitu istirahat bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit selain itu dapat menghemat energi dan mengurangi laju metabolik mencegah terjadinya komplikasi dan mencegah terjadinya agar tidak kambuh kembali. Dan diet pada pasien demam tifoid berupa bubur dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman, juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.
Selain penatalaksaan keperawatan juga diperlukan penatalaksanaan medis untuk demam tifoid. Suriadi, dkk., (2010: 256), menyatakan pemberian antibiotik kloramfenikol dengan dosis tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian Rampengan (2013: 275), yaitu pilihan obat antibiotik kloramfenikol ini adalah pilihan pertama untuk pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan, dan biaya. kloramfenikol masih menjadi pilihan utama pengobatan demam tifoid pada anak.
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015: 179), penatalaksanaan medis pada demam tifoid adalah pemberian antibiotik kloramfenikol, dosis 50 mg/kgBB/hari terbagi 3-4 kali pemberian, oral atau IV selama 14 hari. Bila ada kontra indikasi kloramfenikol diberikan ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau amoxisilin dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksaasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kgBB/ari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari. Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kgBB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kgBB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Dan pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. 
Selain penatalaksanaan juga dapat dilakukan pencegahan demam tifoid. Berdasarkan T.H. Rampengan (2007: 62), ada beberapa pencegahan demam tifoid antara lain: pencegahan terhadap lingkungan yaitu: penyediaan air minum yang memnuhi syarat, pembuangan kotoran manusia yang hiegenis, pemberantasan lalat, dan pengawasan terhadap penjual makanan. Sedangkan pencegahan terhadap manusia yaitu: cuci tangan setelah dari toilet dan sebelum makan atau menyiapkan makanan, pemberian pendidikan kesehatan untuk masyarakat tentang demam tifoid, dan pemberian imunisasi.
Nugrahajati (2012:4), menyatakan selain pencegahan terhadap lingkungan dan manusia, kini pencegahan terhadap kuman salmonella sudah bisa dilakukan dengan pemberian imunisasi yaitu vaksinasi, pada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun atau lebih diberikan vaksin oral yang berupa kapsul. Kapsul diberikan dalam 4 dosis, berselang 2 hari. Hindari penggunaan antibiotik pada 24jam sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis ke empat. Pemberian vaksin ini harus selama 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan vaksin, antara lain mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala, biduran.

Sumber :  (Hidayat, 2011: 120).

0 Response to " DEFINISI TYPHUS ABDOMINALIS "

Post a Comment