JOSINDONESIA

JOSINDONESIA

DEFINISI DEMAM TIPOID

Definisi Demam Tifoid



1. Definisi
Demam Tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih ringan. Kedua penyakit di atas disebut tifoid. Terminology lain yang sering digunakan adalah typoid fever, paratyphoid fever, typhus, dan paratyphus abdominalis atau demam enteric (Widoyono, 2005)
Demam tifoid (entric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Penyakit infeksi dari Salmonella (Salmonellosis) ialah segolongan penyakiti nfeksi yang disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus Salmonella, biasanya mengenai saluran pencernaan (Sodikin, 2011)

2. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella, dan tidak membentuk spora. Penularan penyakit adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonella dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya KLB (Kejadian Luar Biasa). Vector berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Nani di Makassar (2014) mengatakan bahwa adanya hubungan antara kebiasaan makan dan peralatan makan dengan kejadian demam tifoid pada anak usia 5 – 12 tahun, dimana anak dengan kebiasaan makan yang tidak baik dapat menyebabkan demam tifoid dikarenakan factor lingkungan. Aktivitas sehari-hari anak yang lebih banyak dihabiskan di luar rumah (sekolah) daripada di rumah yang menyebabkan kebiasaan anak jajan sembarangan misalnya di warung-warung atau pedagang kaki lima dan tidak memperhatikan kebersihannya, hal inilah yang menyebabkan anak mudah terkontaminasi oleh kotoran-kotoran yang dapat menyebabkan demam tifoid.

3. Manifestasi Klinis
Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini bias diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia, atau batuk. Pada keadaan yang parah bias disertai gangguan kesadaran. Komplikasi yang bias terjadi adalah perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya salmonella dalam darah melalui kultur. Karena isolasi salmonella relative sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi Widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering digunakan sebagai alternative. Titer = 1/40 dianggap positif demam tifoid (Widoyono, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh Choerunnisa dkk (2013) mengatakan bahwa hasil pengumpulan serum pasien dengan widal = 1/320 di laboratorium patologi klinik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dari tanggal 26 Agustus 2013 sampai dengan tanggal 29 Oktober 2013 didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 96 orang. Berdasarkan 96 subjek penelitian yang memenuhi criteria inklusi, yaitu pemeriksaan widal positif (= 1/320) dan klinis demam tifoid akut (demam > 37,5°C disertai gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah atau nyeri perut), dilakukan pemeriksaan tubex dan didapatkan hasil pemeriksaan 96 subjek penelitian yang masuk dalam kriteria inklusi, didapatkan pada pemeriksaan tubex positif sebanyak 47 subjek dan 49 subjek memiliki hasil negatif. Ini berarti bahwa tidak semua pasien yang terindikasi demam tifoid berdasarkan pemeriksaan widal positif, memiliki pemeriksaan tubex yang positif juga.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Rosinta dkk di Bandung (2014) didapatkan hasil bahwa pada penderita demam tifoid dengan kadar leukosit abnormal mengalami durasi demam lebih lama daripada yang memiliki kadar leukosit normal. Demam tifoid yang merupakan suatu infeksi sistemik oleh bakteri Salmonella typhi yang dapat menghasilkan endotoksin yang mempengaruhi hasil dan kadar leukosit dan durasi demam pada penderita demam tifoid.
      
4. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian kuman dapat dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lolos masuk usus halus menyebabkan malaise, perasaan tidak enak badan, nyeri abdomen dan terjadinya inflamasi (Nurarif, 2015)
Salmonella typhi diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu masuk ke dalam peredaran darah sampai di organ-organ lain, terutama hati dan limpa. Kuman yang tidak dihancurkan berkembangbiak dalam hati dan limpa. Organ – organ tersebut akan membesar sehingga menyebabkan nyeri akut (Sodikin, 2011)
Pembesaran limpa (Splenomegali) dapat menyebabkan penurunan mobilitas usus dan terjadinya erosi pada lase plak peyer (kelenjar limfe pada usus halus). Lase plak peyer yang mengalami erosi dapat menyebabkan perdarahan masif yang mengakibatkan terjadinya komplikasi perforasi, perdarahan usus dan peritonitis. Sedangkan penurunan mobilitas usus menyebabkan penurunan peristaltic usus. Menurunnya peristaltic usus mengakibatkan konstipasi dan peningkatan asam lambung. Asam lambung yang meningkat dapat mengakibatkan terjadinya anoreksia, mual muntah sehingga menyebabkan resiko kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Nurarif, 2015)
Setelah berkembangbiak di organ – organ tersebut kemudian kuman masuk kembali ke dalam darah (bakterimia sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa di atas plak peyeri; tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan perforasi usus (Sodikin, 2011)
Bakteremia sekunder juga mengakibatkan endotoksin. Endotoksin dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel yang merangsang leukosit melepas zat epirogen. Zat epirogen dapat mempengaruhi pusat thermoregulator di hipotalamus sehingga dapat menyebabkan ketidakefektifan termoregulasi (Nurarif, 2015)

5. Komplikasi
Sodikin (2011) mengatakan komplikasi biasanya terjadi pada usus halus, namun hal tersebut jarang terjadi. Apabila komplikasi ini terjadi pada seorang anak, maka dapat berakibat fatal. Gangguan pada usus halus ini dapat berupa:
1. Perdarahan usus;
Apabila perdarahan terjadi dalam jumlah sedikit, perdarahan tersebut hanya dapat ditemukan jika dilakukan pemeriksaan feses dengan benzidin; jika perdarahan banyak, maka dapat terjadi melena yang bisa disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan. Perforasi usus biasanya timbul pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian usus distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
2. Peritonitis;
Peritonitis biasanya menyertai perforasi, namun dapat juga terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut seperti nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defence musculair), dan nyeri tekan.
3. Komplikasi di luar usus;
Terjadi lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefelopati, dan lain-lain. Komplikasi di luar usus ini terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronco pneumonia.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan demam tifoid adalah: (a) obati dengan kloramfenikol (50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis per oral atau intravena) selama 10-14 hari, tetapi untuk bayi muda perlu dipertimbangkan secara lebih spesifik; (b) apabila tidak diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100 mg/kgBB/hari per oral atau ampisilin intravena selama 10 hari, atau kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari (dibagi 2 dosis) peroral selama 10 hari; (c) apabila kondisi klinis tidak ada perbaikan, gunakan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson (80 mg/kg IM atau IV, sekali sehari, selama 5-7 hari) atau seiksim oral (20 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari). Perawatan penunjang dilakukan bila anak demam (=39°C), diberikan parasetamol dan dilakukan pemantauan terhadap tanda komplikasi (Sodikin, 2011).
Dalam penelitian Dede, dkk di Banjarmasin (2015) menyebutkan bahwa adanya perbedaan penurunan suhu tubuh setelah diberikan kompres hangat basah dan plester kompres dengan selisih rata-rata penurunan suhu yaitu 1,10°C dengan kompres hangat basah dan 0,42°C dengan plester kompres. Hal tersebut membuktikan lebih efektifnya kompres hangat basah dalam penurunan suhu tubuh pada demam tifoid.

Sumber : (Widoyono, 2005)

0 Response to " DEFINISI DEMAM TIPOID "

Post a Comment